Tari Tor-Tor dan Gondang, Seni Budaya dari Sumatera Utara

Foto: National Geographic

Kata tor tor berasal dari dari suara entakan kaki para penari diatas lantai kayu rumah adat batak.  Terlepas dari asal usul nama tor tor itu sendiri, kemunculan gerak ritmis berirama ini telah dikenal oleh masyarakat Batak Toba sejak masa pra sejarah. Karena itu pula sebagian orang menyebut bahwa tarian tor tor merupakan sebuah tari purba.

Meskipun tidak ada yang tahu dengan pasti kapan dan siapa pencipta tarian ini namun para seniman sepakat bahwa tarian yang dikenal serta berkembang di daerah Batak  Sumatera Utara ini pada awalnya menjadi sebuah ritual adat dalam berbagai macam acara seperti upacara kematian, kesembuhan, panen dan pesta muda-mudi. Tarian ini memiliki proses ritual yang harus dilalui.

Pesan ritual itu ada tiga yang utama. Yakni takut dan taat pada Tuhan, sebelum tari dimulai harus ada musik persembahan pada Yang Maha Esa. Kemudian dilanjutkan pesan ritual untuk leluhur dan orang-orang masih hidup yang dihormati. Terakhir, pesan untuk khalayak ramai yang hadir dalam upacara. Barulah dilanjutkan ke tema apa dalam upacara itu.

Durasi Tari Tor-tor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Di tanah Batak, hal ini tergantung dari permintaan satu rombongan yang mau menyampaikan suatu hal ke rombongan lain. Dimintalah satu buah lagu pada pemusik. Jika maksud sudah tersampaikan, barulah tarian dihentikan.

Tarian ini akhirnya bertransformasi di Ibu Kota karena mulai ditampilkan di upacara perkawinan. Jika sudah sampai di upacara ini, bentuknya bukan lagi ritual melainkan hiburan. Karena menjadi tontonan dan tidak semua yang hadir ikut terlibat dalam tarian tersebut.

Memang belum ada buku yang mendeskripsikan rekam sejarah Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan. Namun, ditambahkan oleh Guru Besar Tari Universitas Indonesia Edi Sedyawati, sudah ada pencatatan hasil perjalanan di zaman kolonial yang mendeskripsikan Tari Tor-tor.

Meski demikian, sama seperti kebudayaan di dunia ini, Tari Tor-tor juga mengalami pengaruh dari luar yaitu India. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh pengaruhnya bisa tercatat hingga ke Babilonia.

Gondang Sembilan

Tari Tor-tor selalu ditampilkan dengan tabuhan Gondang Sembilan. Warga Mandailing biasanya menyebutnya Gordang Sembilan, sesuai dengan jumlah gendang yang ditabuh.

Jumlah gendang ini merupakan yang terbanyak di wilayah Suku Batak. Karena gendang di wilayah lainnya seperti Batak Pakpak hanya delapan buah, Batak Simalungun tujuh buah, Toba enam buah, dan di Batak Karo tingga tersisa dua buah gendang.

Banyaknya jumlah gendang ini ada hubungannya dengan pengaruh Islam di Mandailing. Di mana besarnya gendang hampir sama dengan besar bedug yang ada di masjid.  Ada kesejajaran dengan agama Islam. Bunyi gendangnya pun mirip seperti bedug.

Gendang ini juga punya ciri khas lain yakni pelantun yang disebut Maronang Onang. Si pelantun ini biasanya dari kaum lelaki yang bersenandung syair tentang sejarah seseorang, doa, dan berkat. Senandungnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunitas peminta acara.

Sayangnya keindahan budaya Tari Tor-tor dan Gondang Sembilan ternoda dengan kurangnya penghargaan. Sulit mencari pihak yang mau membiayai pagelaran budaya ini, terutama di Ibu Kota. Hanya karena pejuang-pejuang seni Batak, Tari Toro-tor dan Gondang ini masih tumbuh dan terlihat keberadannya.

Sumber: Nationalgeographic.co.id

 

Baca Juga

13 Warisan Budaya Indonesia diakui UNESCO
Suku Baduy, Bersinergi Bersama Alam
Sejuta Pesona Pulau Pari
Legenda Putri Dayang Merindu di Goa Putri
Pulau Sempu, Surga Tersembunyi