Menyoal Penggunaan Anggaran Pilwabub Muara Enim, Firmansyah; Berpotensi Melanggar Hukum

Dr. Firmansyah, S.H., M.H. (Foto: dok pribadi)

PALUGADANEWS.com, MUARA ENIM – Pengisian jabatan wakil bupati Muara Enim yang kemarin digelar pemilihannya oleh DPRD Kabupaten Muara Enim, tidak saja dipersoalkan banyak kalangan mengenai landasan hukumnya, tapi juga soal anggaran yang digunakan dalam pemilihan.

Pengamat hukum dan advokat Dr. Firmansyah, SH., MH menyebutkan, alokasi anggaran pemilihan tersebut tidak boleh dianggap sepele. Jika memperhatikan nomenklatur dalam undang-undang mengenai pelaksanaan kewenangan DPRD merupakan pengisian kekosongan jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah.

“Keliru kalau disamakan dengan penggantian antar waktu (PAW) anggota dewan pada umumnya. Jadi harus hati-hati dan tidak boleh by pass, ada rambu-rambunya, mengingat pendanaannya dibebankan kepada APBD,” jelas Firman dihubungi di Muara Enim, Rabu (7/9/2022).

Firman mengatakan, APBD itu sendiri sebagai keuangan daerah yang pengelolaanya dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi dan setiap tahunnya diwujudkan dengan Peraturan Daerah (Perda) sebagai dasarnya hukumnya.

Sebab itu, lanjutnya, APBD mesti dikelola secara tertib sesuai amanat Pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yaitu setiap penyelenggaran negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

“Pengelolaan dimaksud mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan dan pertanggungjawaban,” urainya.

Firman mengutip pernyataan yang disampaikan Ketua DPRD Muara Enim Liono Basuki kepada wartawan bahwa DPRD punya anggaran sendiri jika Pemkab Muara Enim tidak ada anggaran.

Menurut Liono, pihaknya tetap akan melaksanakan Pemilihan Wabup karena tidak memakan banyak biaya dan kode rekening yang dipakai yaitu Pelaksanaan Tugas dan Fungsi DPRD yang sudah dianggarkan di Anggaran Induk Tahun 2022.

“Kesannya, seolah-olah dewan berhak menganggarkannya sendiri. Anggaran proses pemilihan setidaknya telah dikeluarkan mulai dari tahap awal kegiatan hingga pelaksanaan pemilihan,” kata Firman.

Dijelaskan dia, secara khusus pemilihan wakil bupati dianggarkan pada DPPA-SKPD Sekretariat DPRD Kabupaten Muara Enim tahun anggaran 2021, tetapi karena tidak dilaksanakan maka anggaran tersebut menjadi SILPA. Namun pada DPPA-SKPD Sekretariat DPRD Kabupaten Muara Enim Tahun Anggaran 2022, tidak dianggarkan sama sekali.

Firman mengingatkan, terselenggaranya pemilihan itu pendanaannya bersumber dari dan atas beban APBD. Karena tidak dianggarkan, berarti ada pergeseran mata anggaran lain yang digunakan.

“Hal yang demikian tidak dapat dibenarkan dan berpotensi melanggar hukum. Pengecualiannya hanya dimungkinkan dalam keadaan darurat atau sangat mendesak, misalnya bencana alam. Pemilihan wakil bupati jelas tidak termasuk kategori keadaan darurat atau mendesak,” ujar Firman.

Larangan tersebut, lanjutnya, secara tegas diatur dalam Pasal 3 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, bahwa setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berkaitan dengan pengeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiaya pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.

Pada Pasal 59 ayat (1) menyatakan setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

“Dari ketentuan ini sangat jelas bahwa DPRD Cq. Pansus Pemilihan apapun alasannya dilarang menggunakan anggaran untuk membiayai suatu kegiatan yang tidak dianggarkan dalam APBD tahun berjalan,” tegasnya.

Firman menilai, dengan telah dilaksanakannya pemilihan wakil bupati sementara anggaran yang digunakan bersumber dari APBD yang bukan peruntukannya, merupakan pelanggaran hukum. Kerugian yang ditimbulkan merupakan kerugian Keuangan Negara/Daerah incasu Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Muara Enim.

“Setidaknya kasus ini bisa menjadi entry point bagi aparatur penegak hukum untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Sebab kalau hal ini dibiarkan selain tidak sesuai aturan juga menjadi preseden buruk dalam pengelolaan keuangan daerah khususnya Kabupaten Muara Enim,” ujar dia.

Sementara dari sisi hukum pidana, lanjutnya, perbuatan (delik) itu sudah selesai (voltoid) dan kerugian keuangan negara/daerah sudah terjadi.

“Terlebih jika ada sikap batin atau niat jahat (mens rea) dalam melakukan perbuatan (actus reus), maka pihak-pihak yang dengan sengaja melakukan, membantu melakukan, mengarahkan atau memberi perintah, patut dimintakan pertanggungjawaban hukumnya,” ujarnya.

Sedangkan soal penghitungan besaran kerugian keuangan negara/daerah tentu menjadi tugas auditor BPK atau BPKP atau Inspektorat untuk melakukan audit investigatif.

Apabila terbukti perbuatan itu memenuhi unsur melawan hukum atau menyalahgunakan wewenang, dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau kelompok tertentu, maka dapat dikualifikasikan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Firman menambahkan, pemberantasan korupsi merupakan agenda besar Pemerintah karena pada dasarnya kejahatan korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara/daerah, tetapi merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Terutama tidak terpenuhinya hak-hak masyarakat atas kesejahteraan dan kemajuan ekonomi serta mengganggu pembangunan daerah khususnya Kabupaten Muara Enim.

“Dapat tidaknya perbuatan itu ditindaklanjuti, semua ini kita kembalikan kepada aparatur penegak hukum yang berwenang,” pungkasnya.