Perilaku Politik NPWP: Nomor Piro Wani Piro

Penulis: Hendra Juansyah, S.I.P (Alumni Jurusan Politik Pemerintahan UGM)

Foto: Ilustrasi


Pengertian NPWP tulisan ini bukanlah NPWP itu Nomor Pokok Wajib Pajak, NPWP disini adalah Nomor Piro Wani Piro. Istilah Nomor Piro Wani Piro adalah plesetan lain untuk praktik politik uang.

Umumnya praktik politik uang dikenal dengan istilah “Serangan Fajar” merujuk pada aktivitas bagi-bagi uang yang dilakukan oleh timses kandidat ketika waktu fajar.

Istilah Nomor Piro Wani Piro adalah istilah praktik politik uang dari pulau Jawa yakni Jawa Tengah dan Timur. Ini artinya politik uang terjadi dimana-dimana, tidak hanya di Sumatera, tapi juga di Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain. Bahkan juga terjadi di negara-negara lain.

Nomor Piro Wani Piro berarti nomor berapa dan berani dengan bayaran berapa. Istilah yang lebih spesifik merujuk ke nomor kandidat dan berapa kandidat berani memberikan bayaran jika ingin dicoblos.

Selain NPWP, ada juga istilah GOLPUT yang juga bukan merupakan makna asal yang kita pahami sebagai Golongan Putih yakni sebuah perilaku tidak memutuskan untuk memilih mencoblos kandidat tertentu dalam sebuah kontetsi politik.

GOLPUT disini dimakna sebagai Golongan Penerima Uang Tunai, yakni mereka yang telah menerima sejumlah uang dari kandidat tertentu. Ada banyak istilah untuk menyebut praktik politik uang di Indonesia. Setiap daerah hampir memiliki isitlah yang khas.

Ragam plesetan gaya baru menyebut politik uang seolah menjadi penanda bahwa praktik politik uang di Indonesia semakin berkembang dari istilahnya sampai pada taktik dan strategi lapangannya. Politik uang adalah bagian dari patronase politik elektoral, ia adalah salah satu bentuk dari sebuah politik patronase yang banyak terjadi di Indonesia.

Untuk membahas tentang politik uang harus diawali dengan menjelaskan apa itu patronase politik terlebih dahulu. Merujuk pada Shefter saya mendefinisikan patronase sebagai sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau penggiat kampanye dalam rangka mendapatkan keuntungan politik dari mereka (Shefter 1994:283, n.3 lihat juga Hutchroft 2014 : 176-177).

Dengan demikian politik patronase adalah berpolitik dengan melakukan pemberian uang tunai, barang, jasa dan keuntungan ekonomi lainnya yang dilakukan oleh politisi dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan politik berupa suara dari pemilih.

Adapun bentuk-bentuk patronase politik yang sering kita jumpai di Indonesia adalah sebagai berikut.

1. Pembelian Suara (vote buying)

Pemberian suara diartikan sebagai distribusi pembayaran uang tunai/barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pencoblosan yang disertai dengan harapan bahwa penerima akan membalas dengan memberika suara bagi kandidat yang memberi.

Banyak istilah lokal untuk menyebut fenomena ini salah satunya adalah “serangan fajar”. Sebuah istilah yang sebenarnya diambil dari sejarah perjuangan masa revolusi Indonesia yang digunakan untuk mengambarkan bahwa pemberian uang tunai/barang dilakukan pada waktu fajar atau Subuh. Walaupun kalau melihat fakta lapangannya praktik “serangan fajar” lebih sering dilakukan beberapa hari menjelang hari pencoblosan.

2. Pemberian-Pemberian Pribadi (Individual gifts)

Kegiatan ini sering kali dilakukan oleh para kandidat ketika melakukan kegiatan kampanye bertatap muka langsung kepada para pemilih. Seperti ketika berkunjung kerumah-rumah menemui tokoh ataupun masyarakat secara langsung. Barang-barang yang sering digunaka sebagai “gifts” adalah barang-barang yang sifatnya kecil dan ringan.

Mereka sering kali mengatakan bahwa ini adalah sebuah hadiah atau kado yang sifatnya sebagai kenang-kenangan yang tujuannya adalah mengikat hati para pemilih. Contoh barang-barang yang sering kali diberika kepada pemilih seperti: jilbab, kalender, sajadah, gantungan kunci dll.

3. Pelayanan dan Aktivitas (services and activities)

Dalam kegiatan ini kandidat politisi memanfaatkan sebuah kegiatan massal yang itu banyak memberikan manfaat bagi pemilih. Bentuk-bentuk kegiatannya seperti ; pelayanan kesehatan gratis, pertandingan sepak bola, ataupun kegiatan-kegiatan komunitas seperti pengajian dan pentas seni budaya yang didalam kandidat menjadi donatur kegiatan.

4. Barang-Barang Kelompok (clubs goods)

Ini adalah bentuk patronase politik ditandai dengan adanya pemberian barang-barang yang lebih diuntungan atau yang menjadi target adalah kelompok pemilih bukan secara individual. Praktik kegiatan ini menyasar komunitas-komunitas, kelompok, klub olahraga, asosiasi, koperasi dll. Barang-barang yang dibagikan adalah barang-barang yang menjadi kebutuhan bersama bagi kelompok tersebut. Misalnya, pemberian bola Voli kepada klub tertentu, pemberian alat dan bibit tanaman kepada kelompok tani tertentu, pemberian perlengkapan ibadah kepada kelompok pengajian tertentu.

5. Proyek-Proyek Gentong Babi (pork barrel projects)

Ciri utama praktik kegiatan patronase jenis ini adalah pemanfaatan dana publik yang ditujukan kepada pemilih dengan harapan agar pemilih bersedia memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu. Misal banyak kandidat yang menjanjikan akan memberikan program dan proyek-proyek tertentu yang didanai oleh dana publik tapi dipergunakan untuk konstituen mereka. Pelaku praktik ini biasanya adalah kandidat petahana, melalui dana aspirasi, dana bantuan sosial misalnya.

Politik patronase sebagaimana telah dijelaskan diatas sebagai sebuah pertukaran keuntungan demi mendapatkan dukungan politik bagi politisi sebenarnya problematik. Para politisi itu tidak yakin bahwa pemberian uang, hadiah, jasa dan keuntungan ekonomi lainnya itu pasti mendapatkan respon yang diharapkan yakni dukungan politik baik berupa suara ataupun dukungan lainnya.

“Para calon pembeli suara biasanya tidak punya jaminan bahwa pemilih yang menerima pemberian itu akan patuh dengan memberikan suaranya di hari pemilihan”(Schaffer dan Schedler 2008,19).

Ketidakpastian adalah masalah utama dari politik uang. Apalagi saat ini pemilih semakin cerdas bentuk kecerdasan pemilih itu ditandai lahirnya ungkapan “ambil uangnya, pilihan tetap sesuai hati nurani”. Belum lagi ditambah persoalan hukum, norma ataupun etika politik bahwa politik uang adalah perbuatan tercela. Secara pasti politik uang melanggar hukum, norma sosial dan etika politik.

Namun politisi pun tidak mau rugi dengan membagikan uang/barang secara percuma tanpa hasil yang diharapkan. Kalau pemilih sudah semakin cerdas, maka para politisi pun tidak boleh kalah cerdas. Untuk mengatasi persoalan hukum, norma sosial dan etika politik mereka menjalankan politik patronase ini dengan cara-cara kultural, misalnya mereka mengatakan bahwa uang atau barang yang diberikan sebagai bentuk ungkapan kebaikan yang wajib dibalas dengan kebaikan pula (suara).

Mereka mengatakan bahwa uang/barang yang diberikan adalah bentuk penebusan ongkos yang diberikan kepada para pemilih yang telah sudih meninggalkan pekerjaanya pada hari pencoblosan. Singkatnya para politisi berusaha membuat norma sosial tandingan yang menegaskan bahwa praktik politik uang bukanlah sebuah perbuatan tercela. Politik uang dikatakan tidak lebih sebagai ucapan terima kasih, kebaikan timbal balik, sehingga melahirkan kewajiban personal yang menerimanya untuk memberikan balasan pemberian uang/barang tadi.

Selain itu upaya untuk mengatasi ketidakpastian dalam politik uang juga dilakukan oleh para kandidat dengan membangun tim dan sistem pembagian uang/barang dengan sebaik mungkin. Tim dan sistem yang dibangun ini tujuannya adalah agar uang/barang yang diberikan tidak percuma.

Para kandidat tidak ingin rugi dengan sejumlah uang yang fantatis tapi tidak menghasilkan suara sesuai harapan. Cara mereka membangung tim dan sistem ini tentu sangat variatif bergantung dengan kondisi lapangan yang mereka hadapi. Ada yang menjadikan sosok broker sebagai perantara.

Broker menjanjikan sejumlah suara lalu kemudian dibeli dengan sejumlah uang/barang. Ada yang membangun tim dengan koordinasi yang rapi. Ada koordinatornya disetiap wilayahnya, untuk kandidat DPRD Provinsi misalnya mereka biasanya akan membangun tim dari koordinator tingkat kabupaten sampai dengan koordinator tingkat desa lalu kemudian koordinator tiap-tiap TPS.

Dengan tim yang rapi seperti ini biasanya mereka awali dengan mendata sejumlah pemilih tiap-tiap TPS yang siap untuk ditarget sebagai penerima uang/barang.

Lalu bagaimana dengan pemilihan legislatif 2019 nanti? Pertanyaan dasarnya adalah siapa yang paling banyak dijadikan target oleh kandidat sebagai penerima uang/barang? Apakah mereka pemilih yang memiliki kedekatan dengan partai atau mereka yang merupakan massa mengambang (swing voter).

Setidaknya ada tiga teori yang bisa menjelaskan fenomena ini. Pertama adalah Core Voter Model dalam teori ini para kandidat caleg akan lebih menyasar pemilih yang dekat dengan partai, bagi mereka daripada menyasar masa mengambang yang belum pasti maka lebih baik menarget pemilih yang sudah terbukti memiliki kedekatan ataupun loyalitas dengan partai.

Namun kemudian teori ini memiliki kelemahan karena sistem pemilu kita menganut sistem proporsional terbuka yang memaksa para kandidat bersaingan dengan teman separtai sendiri. Akhirnya menimbulkan sebuah kelemahan mendasar bagi teori ini karena massa yang dekat dengan partai itu diperebutkan oleh banyak kandidat satu partai. Pemilih yang dekat dengan partai juga jumlahnya tidak banyak.

Akhirnya lahirlah teori kedua yakni Swing Voter Model bagi bagi teori in untuk apa menyasar pemilih yang sudah memiliki kedekatan dengan partai, mereka sudah pasti akan mencoblos kita. Lebih baik menarget massa mengambang yang belum memiliki kedekatan bahkan belum bisa ditebak arah pilihannya.

Dalam prakteknya para kandidat itu tidak memakai kedua teori diatas karena mereka tidak hanya menyasar pemilih yang dekat dengan partai dan pemilih massa mengambang secara terpisah.

Mereka justru menjadikan pemilih yang dekat dengan partai dan massa mengambang secara bersamaan. Kemudian lahirnya teori ketiga untuk menjelaskannya yakni Personal Loyalis Model.

Dalam teori ini sang kandidat akan mempersonalisasi dirinya sebagai sebuah figur yang merupakan representasi dari partainya tapi sekaligus membangun kekuatan personal yang baik. Mereka sadar bahwa sistem proporsional terbuka memaksa mereka bersaing dengan teman mereka sendiri dalam satu partai.

Makanya kemudian selain melakukan personalisasi sebagai simbol dari partainya ia juga membangun Personal Network. Jaringan personal ini lebih banyak mereka pakai dalam aktivitas pemenangan. Personal Network ini tidak lagi bergantung dengan partai.

Personal Network yang mereka bangun adalah jaringan timses yang diluar partai, bisa jaringan pertemanan, keluarga, ataupun yang lain. Pun begitu dalam menarget pemilih, tipologi ini akan menarget semua massa yang bisa mereka kerahkan melalui Personal Network tadi.

Politik patronase dalam ragam bentuknya seperti yang telah dijelaskan diatas akan sangat sulit untuk dihilangkan. Bagi politisi politik uang memberikan rasa percaya diri yang lebih, bagi mereka kalau mau menang ya harus ada uang.

Mesin politik tidak akan bisa bergerak dengan baik tanpa ada uang yang memadai. Sedang bagi pemilih atau masyarakat uang adalah cara paling efektif untuk menyederhanakan ketika begitu banyaknya pesan-pesan politik yang disampaikan oleh para kandidat yang itu sulit bagi mereka untuk dipahami.

Masyarakat susah mencernah apa itu visi-misi, program kerja, janji-janji politik. Setiap kandidat menawarkan ini itu, yang membuat semakin rumitnya pesan-pesan politik itu dimengerti oleh pemilih. Ketika uang disodorkan maka ia sangat ampuh sebagai cara memudahkan memahami apa maunya para politisi tersebut. Uang adalah pilihan rasional bagi mereka.

Politik Nomor Piro Wani Piro (NPWP) melahirkan apa yang disebut sebagai Perverse Accountability yakni pertanggungjawaban yang tertukar yang harusnya dituntuk untuk bertanggungjawab itu adalah politisi.

Mereka sebagai wakil rakyat maka pertanggungjawaban itu adalah haknya rakyat yang telah memilih mereka. Namun politik uang membuatnya menjadi terbalik justru politisi yang menuntut pemilih agar memilihnya karena sudah menerima uang.

Inilah realitas ketika demokrasi kita terapkan ditengah masyarakat yang rendah pendidkan dan kesejahteraanya.